Interaksi Beragam Seni-Budaya dalam LINTASAN
Amphitheater di belakang Museum Gunungapi Merapi disulap menjadi arena layaknya sebuah venue festival musim panas Jumat (19/7) malam lalu. Salah satu acara di penghujung rangkaian FKY 2019 bertajuk “Lintasan: Wahana Musikal Ari Wvlv” mengajak penonton untuk bersama-sama menyaksikan dan merayakan interaksi antarseniman di Yogyakarta tanpa batasan genre. Terbukti bahwa sepanjang acara ini, seniman dengan nama lahir Ishari Sahida tersebut berkolaborasi dengan komposer noise music Andreas Siagian, aksi teatrikal Papermoon Puppet, deklamasi Handoyo Purwowijoyo, pentas wayang dari Wayang Bocor, juga Taman, Bunga dan Darah lighting show.
Dalam acara tersebut, penonton dapat menikmati acara dengan bersantai di arena beanbag atau di sekitar stand makanan sambil menyantap mie rebus atau bakso. Atau menjajal permainan interaktif bertajuk Tidy Up Vinnie’s Room garapan Indie Guerillas. Api unggun-api unggun kecil pun menghangatkan penonton dari udara dingin Kaliurang. Tak lupa pula para penonton disambut dengan suguhan visual Jogjakarta Video Mapping Project yang diproyeksikan di dinding depan Museum Gunungapi Merapi.
“Panggung ini bukan hanya tentang saya, tapi juga tentang Jogja. Jogja dapat menginisiasi apapun tanpa pikir panjang, selagi itu tentang penciptaan, budaya, kreasi, dan kesenian,” kata Ari Wvlv dalam pidato kebudayaannya.
Ia juga bertutur tentang eksplorasi musiknya yang dimulai ketika ia menggemari musik rock Sepultura, rap saat menonton Iwa K., teater dan film ketika SMA, hingga dikenalkan pada musik elektronik oleh almarhum ayahnya.
Kill The DJ serta Gepeng Kesana Kesini pun menambahkan pidato budayanya yang menceritakan kesan mereka berkawan dengan Ari Wvlv. Dikatakan oleh Kill The DJ, Ari Wvlv merupakan institusi tersendiri yang unik dan khas serta patut untuk dirayakan bersama. Sedangkan Gepeng sebagai penutup menyatakan bahwa Ari Wvlv merupakan seniman yang sering berkolaborasi dengan seniman lain dan lintas aliran hingga bila dijadikan sebuah buku akan sangat tebal. Secara umum, mereka ingin menyatakan bahwa Ari Wvlv merupakan salah satu dari sekian cara menggambarkan inklusivitas Yogyakarta sebagai ruang berkesenian.
Gerimis turun di tengah-tengah acara, namun para penonton masih setia mengitari amphitheater untuk menyaksikan berbagai hasil kolaborasi Ari Wvlv. Diterangi kelap-kelip lampu panggung, penonton mulai perlahan-lahan menggerakkan badan mereka mengikuti irama.
Suasana berubah menjadi semakin semarak dan meriah ketika Soundboutique tampil sambil mengajak penonton membebaskan tubuh mereka untuk bergoyang dalam balutan musik elektronik mereka. Udara yang terasa dingin menghangat dengan hentakan musik mereka yang berhasil menutup acara dengan riuh tepuk tangan gembira.
“Terima kasih, Ari Wvlv, aku cinta padamu,” demikian chant yang digemakan di sela-sela meriahnya closing performance.