Konser Maestro YGF #30: Jejak Abadi Sapto, Harry, dan Djaduk dalam Gamelan Modern

Panggung Yogyakarta Gamelan Festival (YGF) ke-30 berubah menjadi ruang kontemplatif dan penuh penghormatan pada malam Konser Maestro. Di hari ketiga festival ini, tiga tokoh besar seni Indonesia: Sapto Raharjo, Harry Roesli, dan Djaduk Ferianto “dihidupkan kembali” melalui karya-karya yang tak lekang oleh waktu.

Bukan sekadar konser, Konser Maestro menjadi peristiwa budaya yang merayakan warisan musikal yang melampaui zaman. Diwarnai dengan semangat kebebasan, eksplorasi, dan keberanian untuk terus bergerak maju, konser ini menyatukan lintas generasi penikmat gamelan, dari yang tradisional hingga modern eksperimental.


Tiga Nama, Tiga Energi Abadi

Sapto Raharjo, melalui Komunitas Gayam 16 yang ia wariskan, membawakan 7 karya eksperimental gamelan kontemporer. Angka tujuh (pitu) dalam budaya Jawa diartikan sebagai pitulungan (pertolongan), pitutur (nasihat), dan pituwas (hasil baik) — menjadi simbol kekuatan spiritual yang menyelimuti penampilannya.

Harry Roesli, dengan semangat kebebasan dan kritik sosial khasnya, diwakili oleh Rumah Musik Harry Roesli. Aksi teatrikal mikrofon kosong diakhiri dengan rekaman lagu “Jangan Menangis Indonesia”, membuat panggung seolah menangis hening dalam kenangan dan rasa.

Djaduk Ferianto, melalui KuaEtnika, menyuguhkan reinterpretasi musik etnik dalam gaya etno-jazz, blues, hingga eksperimental global. Salah satu puncaknya, karya “Sesaji Nagari” merangkai nada-nada dari India, Cina, Afrika, hingga nusantara ke dalam tarian bunyi yang spiritual namun segar.

Seni Tradisi yang Tak Pernah Mati

Konser Maestro menjadi bukti bahwa gamelan bukan artefak museum. Ia adalah suara kebebasan, alat perlawanan, dan cermin kemanusiaan. Dari lintas generasi hingga lintas media, dari lokal hingga global — Yogyakarta Gamelan Festival membuktikan bahwa tradisi bisa terus bersuara dalam bahasa zaman. (agP)